ABSTRAKSI
Islam merupakan sebuah sistem universal yang mencakup
seluruh kehidupan manusia. Dalam islam, segala hal yang menyangkut kebutuhan
manusia, dipenuhi secara lengkap semuanya diarahkan agar manusia mampu
menjalani kehidupan yang lebih baik dan manusiawi sesuai dengan kodrat
kemanusianya. Jika hal ini dilakukan, maka akan selamat dunia akherat. Sebagai
sebuah sistem, islam memiliki sumber ajaran yang lengkap, yakni Al-Quran dan
Al-Hadits. Al-Quran, dipandang sebagai sumber ajaran dan sumber hukum islam
yang pertama dan utama, sedang hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Quran. Sedangkan islam ala Nahdlatul ulama mempunyai tambahan sumber ajaran
lagi yaitu Ijma’ dan qiyas.
Ketika Al-Quran dan Hadits dipahami dan dijadikan sebagai
obyek kajian, maka muncullah penafsiran, pemahaman, dan pemikiran. Sehingga
melahirkan berbagai jenis ilmu islam. Jika Al-Quran dan Hadits, dipahami dalam
bentuk pengetahuan islam, maka kebenaranya berubah menjadi relatif, dan tidak
lagi mutlak. Hal ini karena pemahaman, pemikiran dan penafsiran merupakan hasil
upaya manusia dalam mendekati kebenaran yang dinyatakan dalam Wahyu Allah dan
sunnah Rasulullah. Karena produk manusia, maka hasilnya sangat relatife bisa
benar, tapi juga bisa salah, bisa benar untuk waktu tertentu, tapi tidak untuk
waktu yang lain.
Untuk memahami Al-Quran dan Hadits sebagai sumber ajaran
Islam, maka diperlukan berbagai pendekatan metodologi pemahaman Islam yang
tepat, akurat dan responsible. Dengan demikian, diharapkan Islam sebagai sebuah
sistem ajaran yang bersumber pada Al-Quran dan Hadits dapat dipahami secara
komprehensif. Dan diantara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Teologis
Normatif.
A. Pegertian
Teologi
Sebagaimana halnya Filsafat Agama, Teologi pun sukar
didefinisikan dengan definisi yang bisa diterima oleh segala pihak. Lebih-lebih
kalau mengingat masalahnya bahkan kadang-kadang ada justru para ahli berlawanan
pahamnya tentang apa yang dinamakan Teologi itu. Disatu pihak ada yang
mengatakan Teologi benar-benar berbeda dengan filsafat agama, tetapi justru
yang lain memasukkan filsafat agama ke dalam teologi, karena misalnya Encyclopedia
of Philosopy yang editornya Paul Edwards, yang menyebutkan bahwa ke dalam
Teologi itu masuk sejarah filsafat agama dan problematika filsafat agama.
Tetapi sebaiknya dilihat juga percobaan satu dua orang untuk memberi gambaran
tentang Teologi ini seperti yang terdapat dalam dictionary, encyclopedia
maupun buku Teologi.
Virgilius Ferm mengatakan bahwa Teologi berasal dari bahasa
Yunani theos yang berarti Tuhan, dan logos yang berarti studi.
Kalau secara sederhana Teologi berarti studi masalah-masalah Tuhan dan kaitan
Tuhan dengan dunia realitas. Dalam pengertian yang lebih luas berarti suatu
cabang Filsafat, yaitu cabang Filsafat yang merupakan lapangan khusus atau
bidang penelitian Filsafat yang khusus berkenaan dengan masalah Tuhan. Tetapi
secara luas dipergunakan dalam arti Theoritical expression of a particular
religion, ekspresi teoritis tentang suatu agama tertentu. Dalam
pemahamannya kemudian ada Teologi Kristen, Yahudi, Prebisterian, Reformasi dan
sebagainya. Kalau dipergunakan dalam hal yang demikian itu, teologi lalu
merupakan fase-fase diskusi teoritis tentang kepercayaan agama tertentu yang
bersifat historic, sistematik, polemic, apologetik dan sebagainya. Teologi
tidak perlu merefensi pada agama, ia mungkin merupakan diskusi teoritis murni
tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan dunia atas dasar penelitian yang bebas
yang tidak mempunyai interest atau kepentingan tertentu.
B. Karaktersitik
Teologi
Kalau potongan-potongan informasi tentang apa yang dinamakan
Teologi di depan kita padukan, akan kita temukan ciri-ciri Teologi itu,
diantaranya :
1.
Obyek pembicaraannya adalah soal Tuhan dan kaitan Tuhan
dengan realitas alam semesta, termasuk manusia yang diantaranya tentunya
berwujud petunjuk hidup semacam etika.
2.
Tidak semua Teologi itu bernada filosofis, ada yang cukup
dengan discourse, jadi semacam merembuk atau membicarakan.
3.
Discourse itu diteruskan dengan studi sistematis serta
presentasi
4.
Ada yang mengatakan studi Teologi ini ilmiah tetapi mestinya
tidak sebagaimana keilmiahan ilmu sosiologi, psikologi dan sebagainya.
5.
Ada yang mensyaratkan keilmiahan Teologi ini tidak obyektif,
jadi subyektif, pelakunya orang yang percaya dan mentakwai apa yang
didiskusikan.
6.
Obyek pembicaraannya dapat dari sesuatu agama dapat juga
atas nama semua agama. Ada yang mengatakan yang analisis kritis masalah-masalah
dasariah problematika agama-agama yang bukan agama tertentu demikian itu
Filsafat Agama.
7.
Ada yang berpendapat antara Teologi dan Filsafat Agama tidak
berbeda walaupun ada juga yang membedakannya sebagaimana halnya sudah
disebutkan di depan.
C. Pendekatan
Teologis Normatif
Pendekatan normatif-teologis juga di istilahkan dengan
pendekatan tektual karena ia menekankan signifikansi teks-teks sebagai sentral
kajian islam dengan merujuk pada sumber-sumber suci (Pristine sources) dalam
islam, terutama Al-Quran dan Hadits.
Dalam kerangka studi agama, normatifitas ajaran dibangun, dikemas
dan dibakukan melalui pendekatan doktrinal-teologis. Pendekatan normatif ini
berangkat dari teks yang sudah tertulis dalam kitab suci masing-masing agama.
Oleh karena itu pendekatan ini dianggap sebagai bercorak literalis, tektualis dan
skripturalis.
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara
harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan
kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu kayakinan bahwa wujud empirik
dari suatu kagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang
lainya. Dari pemikiran tersebut diatas, dapat diketahui bahwa pendekatan
teologis dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada
bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing bentuk forma atau
simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar,
sedangkan pemahaman yang yang lainya dianggap salah.
Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pemahamanyalah
yang benar sedangkan paham lainya salah, sehingga memandang bahwa paham orang
lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang
dituduh keliru, sesat dan kafir itupun menuduh kepada lawanya sebagai yang
sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling
mengkafirkan, salah menyalahkan antara yang satu dengan lainya dan begitu
seterusnya. Pendekatan teologis memiliki arti yang berkaitan dengan aspek
ketuhanan. Sedangkan normatif secara sederhana diartikan dengan hal-hal yang
mengikuti aturan atau norma-norma tertentu. Dalam konteks ajaran islam normatif
memiliki ajaran agama yang belum dicampuri oleh pemahaman dan penafsiran
manusia .
Pendekatan teologis ini erat kaitanya dengan pendekatan normatif,
yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajaranya yang pokok dan
asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.
Dalam pendekatan teologis ini, agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak
dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersikap ideal.
Pendekatan normatif dapat diartikan studi islam yang
memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan
kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi islam dari apa yang
tertera dalam teks Al-Quran dan Hadits. Pendekatan normatif dapat juga
dikatakan pendekatan yang bersifat domain keimanan tanpa melakukan kritis
kesejarahan atas nalar lokal dan nalar zaman yang berkembang, serta tidak
memperhatikan konteks kesejarahan Al-Quran. Pendekatan ini mengasumsikan
seluruh ajaran islam baik yang terdapat dalam Al-Quran, Hadits maupun ijtihad
sebagai suatu kebenaran yang harus diterima saja dan tidak boleh diganggu gugat
lagi.
Jika dipahami uraian itu akan tampak bahwa pendekatan
teologis dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup tidak ada dialog,
parsial, saling menyalahkan, yang pada akhirnya terjadi pengkotak-kotakan umat,
tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Akhirnya
agama cenderung hanya merupakan keyakinan dan pembentuk sikap keras dan dampak
sosial yang kurang baik, melalui pendekatan teologis agama menjadi buta
terhadap masalah-masalah sosial yang cenderung menjadi lambang identitas yang
tidak memiliki makna.
Uraian diatas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan
teologis dalam memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologis, keagamaan
seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelambanganya. Proses
pelembagaan prilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab sebagai mana halnya yang
terdapat dalam teologi jelas diperlukan antara lain berfungsi utuk mengawetkan
ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam
rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.
Jika dianalisa, tradisi studi keagamaan yang banyak kita
saksikan selama ini yang lebih dominan cenderung membatasi pada pendalaman
terhadap agama yang dipeluknya tanpa melakukan komparasi kritis dan apresiatif terhadap agama orang lain. Mungkin saja hal
ini disebabkan oleh terbatasnya waktu dan fasilitas yang diperlukan atau
menganggap studi agama diluar yang dipeluknya dinilai kurang bermanfaat, atau
bahkan bisa merusak keyakinan yang telah dibangun dan dipeluknya bertahun-tahun
yang diwarisi dari orang tua.
Menurut Abudin Nata, sikap eksklusivisme teologis
dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama sebagaimana tersebut diatas
tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi juga merugikan diri sendiri,
karena sikap semacam itu sesungguhnya mempersempit bagi masuknya
kebenaran-kebenaran baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang dan lebih
kaya dengan nuansa. Arogansi teologis ini tidak saja dihadapkan pada pemeluk
agama lain, tetapi juga terjadi secara internal dalam suatu komunias seagama.
Sejarah telah membuktikan kepada kita, baik dalam Yahudi,
Kristen maupun Islam tentang bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara
satu aliran teologi dengan aliran lain.
Bentrokan semacam ini menjadi semakin seru ketika ternyata
yang muncul dan yang mengendaliakan isu secara kuat adalah kepentingan
politiknya. Dalam hal ini juga tidak jelas mana yang benar, apakah berawal dari
politik, kemudian timbul perpecahan yang kemudian perpecahan tersebut
memperoleh pembenaran teologis dan normatif, atau sebaliknya, berawal dari
pemahaman teologi kemudian masuklah unsur-unsur politis di dalamnya.
D. Aplikasi
Pendekatan Teologis Normatif
Dalam aplikasinya, pendekatan nomatif-teologis-tekstualis
barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk
melihat dimensi islam normatif yang bersifat Qoth’i. Persoalanya justru akan
semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada realita dalam Al-Quran
maupun Hadits yang tidak tertulis secara eksplisit namun kehadiranya diakui dan
bahkan diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas. Contoh yang paling
kongkrit adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas muslim yang sudah
mentradisi secara turun temurun, seperti slametan (Tahlilan atau kenduren).
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan
teologis-normatif-tekstualis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir
deduktif, yaitu cara berpikir yang
berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya sehingga tidak
perlu dipertanyakan lebih dulu, melainkan dimulai dari kaeyakinan yang
selanjutnya diperkuat dengan dalil-salil dan argumentasi.
Pendekatan normatif-teologis-tektualis sebagaimana
disebutkan diatas telah menunjukan adanya kekurangan yang antara lain eksklusif
dogmatis, tidak mau mengakui adanya paham golongan lain bahkan agama lain dan
sebagainya.
Namun demikian melalui pendekatan teologis-norrmatif-tektualis
ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang
teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan
meremehkan agama lainya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan
memiliki sikap fanatis terhadap agama yang di anutnya.
Saat ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat
secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia.
Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang keshalihan atau berhenti
sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara operasional konseptual
dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Seiring perkembangan zaman yang selalu berubah dan disertai
dengan munculnya berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia, maka menjadi
sebuah keniscayaan untuk memahami agama sesuai dengan zamanya. Oleh karena itu,
berbagai pendekatan dalam memahami agama yang bersumber dari al-Quran dan
hadits memiliki peran yang sangat setrategis.
Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan
seperangkat ciri khasnya. Agama islam secara normatif pasti benar dan
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial agama tampil
menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong
menolong, rasa persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi agama
tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan.
Untuk bidang ilmu pengetahuan agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki
pengetahuan dan tehnologi yang setinggi-tingginya, menguasai ketrampilan,
keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan, kehidupan,
kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang dibangun
berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.
E. Kesimpulan
Studi islam secara metodologis memiliki urgensi dan
signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati islam, baik pada
tataran realitas-empirik maupun normatif-doktrinal secara utuh dan tuntas.
Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja seraya
menafikan sudut pandang lainya yang kehadiranya sama-sama penting. Apabila
islam hanya dilihat dari satu sisi saja, maka akibat yang ditimbulkanya pun
mudah ditebak, yaitu reduksi dan distorsi makna. Sebagai akibatnya gambaran
islam yang utuh-tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan truth claim
sepihak rasanya akan sulit dicapai. Perkembangan zaman yang selalu berubah dan
disertai munculnya berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia, menjadi
sebuah tuntutan untuk memahami agama sesuai zamanya.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab
manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis-normatif
dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara
oprasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar harus membangun